Orat-oret Problem Pendidikan Now
Pendidikan merupakan alat untuk mencetak manusia agar memiliki pribadi secara akademis dan bermoral menjadi manusia pembawa perubahan dalam lingkungan. Di era globalisasi saat ini tentu arah pendidikan harus menjadi episentrum bagaimana mampu membangun watak manusia yang beradab. Globalisasi memiliki dampak yang beragam bagi kehidupan umat manusia. Ia bisa positif dan bisa juga negative. Akan membawa dampak positif apabila digunakan dengan fungsional dan pula akan berdampak negative bila disfungsional dalam menggunakan tekhnologi.
Tentu implikasi akibat tekhnologi akan mampu membentuk budaya watak manusia secara dua dimensi baik dimensi membangun peradaban dan juga dimensi menggeser pola pikir liar dengan mengkonstruk manusia logika ala pasar. Dimensi membangun peradaban artinya peserta didik berhasil memiliki pola pikir kritis dan diwujudkan dalam perilaku bagaimana mampu melihat realitas sosial dijadikan bahan dialektika untuk kemajuan sehingga sebagai ikhtiar sumbangsih gagasan maupun implementasi mewujudkan keadilan. Ia mampu menganalisis sistem sosial dari berbagai lini yang dinilai membelenggu dan tidak mencerminkan keadilan untuk bersama. ia tidak hanya sekedar manut melihat realitas sistem sosial yang dibentuk namun ikut berpartisipasi mengawal agar secara pasti dapat mewujudkan keadilan. Disi lain ia juga memiliki sifat rasa ingin tau yang besar untuk menambah wawasan agar menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan akan pengetahuan.
Socrates mengatakan bahwa semakin ia belajar semakin pula ia merasa tidak mengetahui apa-apa dan semakin ia memperoleh pengetahuan semakin pula ia harus mengimplementasikan kebaikan. Sebaliknya dimensi pola pikir liar dengan logika manusia ala pasar manusia diarahkan terhadap kecenderungan berfikir pragmatis, menginginkan hasil yang instan dengan menghalalkan segala cara tanpa melihat proses yang ia lalui. Dan pula orientasi pendidikan dari manusia sebagai pengkonsumsi akibat dampak dari globalisasi mampu memberikan pergeseran kognitif, afektif dan psikomotorik mengingat lingkungan pasar yang membentuk logika manusia. Ia lebih cenderung berfikir pragmatis dengan melihat untung-rugi, semisal dari dosen pemberi nilai dengan meniadakan bagaimana proses yang harus dapat dilalui semaksimal mungkin. Mengerjakan tugas hanya sekedar dijadikan beban mahasiswa untuk memenuhi tugas dari dosen bukan untuk lebih memperkaya wawasan.
Melihat juga mahasiswa menjadi basis kesemarakan hubungan cinta, pacaran misalnya, yang ia biaya pendidikan terkadang kebanyakan masih bergantung terhadap orang tuanya bahkan juga secara sungguh-sungguh tidak bisa membedakan antara media massa sebagai agen manipulasi dan indoktrinasi yaitu golongan yang sering meneriakan cinta tanpa landasan yang jelas kecuali kehendak benar-benar membuta yang membuat pola pikir dan perilaku mengalami defisit, terbukti menurunnya kegiatan-kegiatan ilmiah atau hal yang bisa dikatakan kecil namun bermakna seperti membaca buku maupun studi literatur lainnya yang dapat sekedar untuk menambah asupan nutrisi sebagai tanggung jawab akademisi atau paling tidak berupaya menjadi figur yang dapat dincontoh oleh publik.
Penulis bukan bermaksud melarang mahasiswa pacaran karena juga pernah melakukan, namun bagaimana sebuah hubungan memiliki batasan agar emosional diarahkan untuk sama sama berkolaborasi membangun dialektika yang kritis demi keberlangsungan perjuangan umat dan bangsa yang dinilai masih kurang baik-baik saja yang masih banyak membutuhkan ide dan gagasan kita dimulai dari skala terkecil semisal keluarga maupun teman dekat. kedua dimensi inilah, jika mengutip dari stamen filsuf stoa bahwa ada suatu keadaan yang berada di dalam kendali kita yaitu proses. Proses yang kita kendalikan dengan memilih dimensi diatas yang akan berdampak terhadap hasil yang bisa dipetik oleh mereka atau juga sebagai barometer berjalannya pendidikan dengan baik karena ada kita yang berperan di dalamnya.
Tentu implikasi akibat tekhnologi akan mampu membentuk budaya watak manusia secara dua dimensi baik dimensi membangun peradaban dan juga dimensi menggeser pola pikir liar dengan mengkonstruk manusia logika ala pasar. Dimensi membangun peradaban artinya peserta didik berhasil memiliki pola pikir kritis dan diwujudkan dalam perilaku bagaimana mampu melihat realitas sosial dijadikan bahan dialektika untuk kemajuan sehingga sebagai ikhtiar sumbangsih gagasan maupun implementasi mewujudkan keadilan. Ia mampu menganalisis sistem sosial dari berbagai lini yang dinilai membelenggu dan tidak mencerminkan keadilan untuk bersama. ia tidak hanya sekedar manut melihat realitas sistem sosial yang dibentuk namun ikut berpartisipasi mengawal agar secara pasti dapat mewujudkan keadilan. Disi lain ia juga memiliki sifat rasa ingin tau yang besar untuk menambah wawasan agar menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan akan pengetahuan.
Socrates mengatakan bahwa semakin ia belajar semakin pula ia merasa tidak mengetahui apa-apa dan semakin ia memperoleh pengetahuan semakin pula ia harus mengimplementasikan kebaikan. Sebaliknya dimensi pola pikir liar dengan logika manusia ala pasar manusia diarahkan terhadap kecenderungan berfikir pragmatis, menginginkan hasil yang instan dengan menghalalkan segala cara tanpa melihat proses yang ia lalui. Dan pula orientasi pendidikan dari manusia sebagai pengkonsumsi akibat dampak dari globalisasi mampu memberikan pergeseran kognitif, afektif dan psikomotorik mengingat lingkungan pasar yang membentuk logika manusia. Ia lebih cenderung berfikir pragmatis dengan melihat untung-rugi, semisal dari dosen pemberi nilai dengan meniadakan bagaimana proses yang harus dapat dilalui semaksimal mungkin. Mengerjakan tugas hanya sekedar dijadikan beban mahasiswa untuk memenuhi tugas dari dosen bukan untuk lebih memperkaya wawasan.
Melihat juga mahasiswa menjadi basis kesemarakan hubungan cinta, pacaran misalnya, yang ia biaya pendidikan terkadang kebanyakan masih bergantung terhadap orang tuanya bahkan juga secara sungguh-sungguh tidak bisa membedakan antara media massa sebagai agen manipulasi dan indoktrinasi yaitu golongan yang sering meneriakan cinta tanpa landasan yang jelas kecuali kehendak benar-benar membuta yang membuat pola pikir dan perilaku mengalami defisit, terbukti menurunnya kegiatan-kegiatan ilmiah atau hal yang bisa dikatakan kecil namun bermakna seperti membaca buku maupun studi literatur lainnya yang dapat sekedar untuk menambah asupan nutrisi sebagai tanggung jawab akademisi atau paling tidak berupaya menjadi figur yang dapat dincontoh oleh publik.
Penulis bukan bermaksud melarang mahasiswa pacaran karena juga pernah melakukan, namun bagaimana sebuah hubungan memiliki batasan agar emosional diarahkan untuk sama sama berkolaborasi membangun dialektika yang kritis demi keberlangsungan perjuangan umat dan bangsa yang dinilai masih kurang baik-baik saja yang masih banyak membutuhkan ide dan gagasan kita dimulai dari skala terkecil semisal keluarga maupun teman dekat. kedua dimensi inilah, jika mengutip dari stamen filsuf stoa bahwa ada suatu keadaan yang berada di dalam kendali kita yaitu proses. Proses yang kita kendalikan dengan memilih dimensi diatas yang akan berdampak terhadap hasil yang bisa dipetik oleh mereka atau juga sebagai barometer berjalannya pendidikan dengan baik karena ada kita yang berperan di dalamnya.
Referensi : Nuraini Soyomukti, Pendidikan Berpsektif Globalisasi, (Depok: Ar-Ruzz Media, 2014)
Komentar
Posting Komentar