Menguak Budaya Bisu di Kampus

Menguak Budaya Bisu di Kampus

Opini Publik

Esai


Kampus merupakan pusat akal sehat untuk mencetak manusia yang memiliki nilai akademis, pencipta dan pengabdi dalam mewujudkan kemaslahatan dan menyelesaikan problem secara kritis di ruang sosial. Kampus  bisa dikatakan tempat kebutuhan pokok manusia setelah makan dan minum untuk menopang manusia dan memenuhi hajatnya secara kritis dan transformatif agar menjadi manusia yang produktif di ruang sosial. Di era globalisasi saat ini, tentu banyak ruang lingkup perubahan di dalam tatanan sosial termasuk pendidikan itu sendiri. Perubahan tersebut ditandai dengan semangat evolusi manusia dalam dimensi ilmu pengetahuan. Semangat itulah yang dapat membawa perubahan di berbagai lini baik itu ekonomi, budaya, pendidikan, bahkan agama.

 Semangat evolusi maupun revolusi  yang dilancarkan oleh eropa barat dalam ilmu pengetahuan mampu memberikan dampak besar bagi perubahan dunia. Terutama ditandai semangat kapitalisme yang menghasilkan beranekaragam prodak yang dihasilkan yaitu globalisasi itu sendiri sebagai salah satunya. Globalisasi tersebut ditandai perubahan dari berbagai lini dalam ruang sosial salah satunya pendidikan di dalam kampus. Berbicara kampus tentunya berbicara masa ke masa. Masa sebelum globalisasi itu hadir tentu berbeda pada saat globalisasi itu hadir, dan itu di alami oleh kampus sebagi pusat akal sehat dalam dunia pendidikan.

 Masa saat ini, era globalisasi yang ditandai dengan meningkanya IPTEK tentu dapat memberi kemudahan bagi para aktor di dalam dunia pendidikan salah satunya dosen dan mahasiswa untuk menjalankan aktfitas berbaur akademisi dalam ruang kampus maupun implementasi di masyarakat baik skala kecil maupun besar. Finley Fater Dunoe mengatkan “kita bisa mengantar orang memasuki universitas, tapi belum tentu bisa membuatnya berfikir”. Artinya kampus merupakat kegiatan manusia untuk berfikir dalam memecahkan problem sosial seiring perkembangan zaman semakin pesat.

Aristoteles mengatakan pendidikan adalah jalan untuk memperoleh kebahagiaan dengan ilmu pengetahuan yang didapati secara kritis dan dapat diwujudkan dalam perubahan sosial. Kebahagiaan bukan hanya terletak dalam materi saja akan tetapi bagaimana kebahagiaan dapat memperkaya pola pikir dan tindakan sehingga dapat memperbaiki persepsi dalam hidup. Hari ini bisa dikatakan manusia banyak yang terlena dengan suguhan-suguhan arus globalisasi yang dimainkan oleh pasar bebas. Hal itu bisa ditandai dengan penyalahgunaan IPTEK akibat minimnya pengetahuan atas fungsi dari IPTEK tsb.

Hal itu juga ditandai dengan iklan-iklan di media yang dapat merubah maindset masyarakat ke arah pragamatis dan hedonisme yang ini tentu dimainkan oleh pasar bebas. Endingnya budaya hedonisme, menindas yang lemah, sekuler semakin merebak dan itu salah satunya di alami oleh mahasiswa hari ini. Selama ini mahasiswa lupa bahwa kampus adalah tempat yang memang dimaksudkan untuk kegiatan akademis. Kebanyakan mahasiswa terlena dengan perkembangan sosial yang ada di luar kampus. Gejala turun ke jalan dan melakukan aktivitas sosial politik di masyarakat tampaknya masih menjadi pilihan utama bagi mahasiswa. Atau kalau tidak mereka hanya mensyukuri kepuasaan yang diberikan oleh budaya hedonistic yang disangga oleh logika berfikir ala pasar.

Beraktifitas sosial dan politik di organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) memang serratus delapan puluh derajat lebih baik daripada bergaya hidup hedon yang mengerikan kapasitas intelektual mereka. Tetapi, aktivitas politik dalam banyak hal tidak lebih baik dari kegiatan ilmiah-akademik, karena politik tidak membutuhkan kebenaran ilmiah. Politik adalah seni meraih kekuasaan dan terbukti kebenaran dalam politik sering kali dimanipulasi atau bahkan ditutup-tutupi. Menurunnya citra kampus dewasa ini bukan lagi hal yang sebenarnya asing. Kualitas kampus semakin menurun, dan itu dapat diukur dari frekuensi, jenis, bentuk aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa dan insan akademik kampus lainnya. Bahkan, keberadaan kampus sendiri mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Kemunculan jasa pembuatan skripsi dan tesis di kalangan mahasiswa bukan hanya menambah karut marutnya wajah pendidikan kita.

Gejala itu menunjukkan meluasnya komersialisasi dalam dunia pendidikan. Komersialisasi bukan hanya dilakukan oleh institusi pendidikan dengan mematok biaya yang tinggi yang menyebabkan dunia pendidikan diisi oleh kalangan berduit. Dalam kasus jasa pembuatan skripsi dan tesis bahkan kasus ini juga bisa diperluas dengan jasa pembuatan makalah dan karya ilmiah lainnya yang telah terjadi komersialisasi karya dan proses akademik dengan tujuan mengejar gelar secara instan.  Wajah pendidikan Indonesia yang bobrok telah menjadi kesan umum dalam masyarakat kita. Kampus adalah suatu tingkatan pendidikan yang paling banyak dipertaruhkan. Malahan suara-suara miring tentang kampus tidak lagi diragukan kenyaringannya.

 Lembaga yang sangat diharapkan melahirkan insan akademis, pencipta dan pengabdi yang sanggup dihadapkan pada realitas konkret kemasyaratan ini justru dicurigai sebagai komunitas yang juga dapat mewakili semacam kebobrokan moral, elitism, anti kerakyatan, dan lahan bisnis ala dunia pendidikan. Gejala jual-beli skripsi, tesis, dan disertasi tsb jelas menambah citra buruk kampus. Dewasasa ini, kata “kampus” itu sendiri sering diidentikkan dengan hal-hal yang menurut ukuran moralitas kurang baik. “Ayam kampus”, “Seks bebas, “sex in the kost”, san lain-lain itu, komunitas kampus dan lingkungannya sekitarnya juga dikesankan sebagai tempat “dugem-dugeman”, dan lingkaran kemahasiswaan yang mengesankan kampus hanya berfungsi sebagai “tempat trendi-trendian” mahasiswa yang selalu sibuk menegaskan gaya hidup sebagaimana dipengaruhi oleh “pasar bebas”.

 Dengan demikian, kampus yang seharusnya menjadi di desain budaya bagi masyarakat sekitarnya justru menjadi korban dari intervensi budaya di luar yang penuh kepentingan (kapitalis). Dalam kondisi seperti ini, tridarma perguruan tingg, pengajaran, penelitian, dan pengabdi masyarakat yang seharusnya dijunjung tinggal menjadi sekedar jargon. Budaya pasar bebas telah melahirkan paham mengejar kesenangan hidup (hedonisme) dan memunculkan aktivitas-aktivitas di kalangan mahasiswa (dan kampus secara umum) yang menjauhi kegiatan ilmiah-akademik.


Saat ini, misalnya, kebanyakan kampus dikepung oleh kegiatan-kegiatan di sekitarnya (dan didalamnya) yang mencerminkan corak budaya mencari kesenangan hidup. Jelas sekali, corak budaya gaya ala pasar bebas akan menurunkan intelektualitas mahasiswa dan lebih cenderung apatis dalam menyikapi isu-isu sosial dan hanya memikirkan egoisme mereka masing-masing.

Tulisan ini adalah kritik bagi penulis sekaligus edukasi opini untuk pandangan publik yg perlu disikapi dengan kritis. Saran dan kritik konstruktif yg membangun sangat diharapkan.

Kekurangan hanyalah milik penulis dan kelebihan hanyalah Milik Allah Swt.

Refrensi : Nuraini Soyomuti Pendidikan Berspektif Globalisasi (Jogjakarta:Ar-Ruz Media,2007)hlm.170

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Mahasiswa Baru dengan Berorganisasi dan Selektif Memilih

Revitalisasi semangat juang perkaderan menuju arah juang hmi kedepan

Awas Bucinisme