Aku Tidak Ingin Seperti Kaum Sofisme
Di sudut-sudut tempat, saya terkadang sering berdiskusi dengan teman seperjuangan untuk mengasah dan mengorek kemampuan nalar intelektual sebagai pemuda. Tentunya untuk mengasah dan mengorek kemampuan nalar intelektual akan dicapai dengan proses yang massif dalam merekontruksi diri dengan belajar, salah satu jalannya adalah membaca dan berdiskusi kemudian aksi yang diwujudkan dalam implementasi diri. Karena jika hanya membaca dengan subjektifitas pemahaman diri sendiri tanpa diiringi berdiskusi maka rekontruksi keilmuan yang diperoleh adalah dogmatis artinya beranggapan pendapat sendiri ibarat tuhan yang sudah final karena sudah didekte dengan buku tanpa perlu dipertanyakankembali yang belum tentu pula dekte dari buku seimbang dengan pemahaman pembaca apa yang ditulis dibuku tersebut oleh penulis. Jalan berdikusi sendiri sebenarnya sering dilakukan oleh pemuda seperti melihat kondisi bangsa ini yang mengalami berbagai persoalan dengan harapan mereka (pemuda) dapat aktif berpartisipasi dalam memperbaiki.
Tidak harus memikirkan bangsa yang kompleks ini, masalah pribadi pun kadang sering membutuhan pencerahan dari orang lain untuk menemukan solusi sehingga berdiskusi dari sekian banyak jalan menjadi alternative mereka. Berdiskusi sendiri memiliki tujuan untuk mendapatkan kesepemahaman dan keselarasan pengertian pendapat yang dapat diakui bersama. Hal tersebut juga akan tercapai apabila dalam suatu diskusi mampu bersikap inklusif (terbuka) dengan mengedepankan kebijaksanaan dan literatur refrensi baik data literatur buku, empiris serta observasi. Namun bagaimana yang akan terjadi ketika suatu pendapat yang dilontarkan dalam suatu diskusi hanya di dasari dengan sikap eksklusif (terpisah dari yang lain) tanpa mau mendengar pendapat orang lain meskipun baik apabila tidak sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan mereka.
Di sisi lain mereka hanya mengedepankan retorika manis serta mengabaikan realitas dan objektifitas. Hal ini dilakukan demi mengamankan pendapat mereka sendiri agar dianggap benar, diakui bahkan harus diikuti oleh orang lain. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi ciri khas oleh kaum sofisme pada pertengahan hingga akhir abad ke-5 SM. Pertanyaannya sebenarnya apa itu sofisme? Penting rasanya sebagai pemuda mengetahui sofisme agar dalam kehidupan sehari-hari khususnya masyarakat itu sendiri tidak terjebak dari budaya yang dimiliki oleh sofisme. Sofisme berasal dari kata “ soft “ yang berarti cerdik dan pandai. Namun, kemudian berkembang artinya menjadi bersilat lidah.
Sebab kaum sofis menyampaikan filsafatnya dengan berkeliling ke kota-kota dan ke pasar-pasar. Para pemuda dilatih kemahiran berdebat atau berpidato. Sofis ditunjukkan kepada kelompok professional yang hidup pada sekitar abad-5 Yunani, kemudian memiliki ciri khas yang oleh plato disebut sebagai orang-orang intelektual yang superfisial, manipulative, ahli retorika dan dialektika, namun dalam arti yang buruk. Bahkan Plato mengatakan kelompok yang amoral karena kelicikannya yang mampu meyakinkan dengan jalan retorika demi kekuasaan. Kaum sofisme juga memburu manusia lazimnya pemuda untuk diberikan pelajaran tentang seni berdebat dengan imbalan uang. Mereka juga mengelilingi kota dengan ajaran relativisme, dengan argumentasi yang tidak peduli dengan keutamaan.
Dengan demikian sofisme tampak hanya memiliki semacam pengetahuan spekulatif tanpa mengutamakan akal sehat dalam kajian maupun obverasi karena hanya demi kepentingan golongan mereka sendiri. Tujuannya itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan apa yang dianggap benar dengan jalan retorika manis.
Sebenarnya ajaran sofisme itu sendiri memiliki pengaruh positif waktu itu pada pertengahan abad ke-5 SM yaitu melahirkan banyak orang terampil berpidato. Disamping itu, akal manusia dihargai. Namun, sisi negatinya ajaran ini menjadikan orang tidak bertanggungjawab atas ucapan-ucapan sebelumnya, sebab yang dikatakan hari ini untuk sesuatu, bisa saja untuk esok akan berubah dengan dalih kebenaran hanya berlaku sementara. Di era saat ini, ciri khas dari kaum sofisme dapat dilakukan oleh orang-orang dimana saja yang memiliki kepentingan kekuasaan dengan kecerdikan licik yang dilalui dengan jalan retorika manis demi untuk mengelabuhi orang lain. Di pemilihan umum dalam demokrasi baik pilpres, pilkada misalnya, sering kali masyarakat diberikan janji-janji manis oleh calon pemimpin namun pada realitasnya janji manis tersebut ha ni diknya berhenti di bibir dan tidak mampu dihadirkan dalam realitas tindakan. Hal demikian bukanlah kebijaksanaan yang ditunjukan tetapi suatu pendangkalan keilmuan dengan selimut kebohongan yang ditebarkan. Ciri-ciri dari kaum sofisme juga mudah dimiliki oleh seorang pemuda yang tidak memperhatikan idealismenya.
Misalnya di kalangan mahasiswa terdapat aktivis bayaran yang seakan-akan di depan umum pura-pura berteriak menuntut keadilan demi kepentingan masyarakat padahal di belakang sebelum melakukan aksi sudah ngopi lebih awal dengan dinas terkait yang menghasikan pula kesepakatan tertentu dalam bentuk tanda tangan dengan suguhan ‘uang’, dan masih banyak lagi afiliasi-afiliasi tertentu bagi pemuda yang mengarah terhadap kepentingan pragmatis. Di sisi lain menujukkan jelas ciri dari kaum sofisme adalah ‘kebohongan’ yang melekat pada diri seseorang dengan mengedepankan retorika-retorika manis untuk mengelabuhi mangsa demi kepentingan dan kepuasaan sahwat pribadi atau kelompoknya. Bukan malah ilmu pengetahuan dengan prioritas kebijaksanaan yang dimiliki namun pendangkalan ilmu pengetahuan serta ‘harga diri’ mereka sebagai manusia.
Apalagi pemuda, dikatakan seorang akademis yang dikatakan dapat mewakili masyarakat dalam menuju peradaban yang berkemajuan dan beradab. Pemikiran, hati dan tindakan yang selaras merupakan salah satu ciri intergritas yang harus dimiliki oleh pemuda. Terakhir, Ungkapan Bung Hatta “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur itu sulit diperbaiki”.
Tidak harus memikirkan bangsa yang kompleks ini, masalah pribadi pun kadang sering membutuhan pencerahan dari orang lain untuk menemukan solusi sehingga berdiskusi dari sekian banyak jalan menjadi alternative mereka. Berdiskusi sendiri memiliki tujuan untuk mendapatkan kesepemahaman dan keselarasan pengertian pendapat yang dapat diakui bersama. Hal tersebut juga akan tercapai apabila dalam suatu diskusi mampu bersikap inklusif (terbuka) dengan mengedepankan kebijaksanaan dan literatur refrensi baik data literatur buku, empiris serta observasi. Namun bagaimana yang akan terjadi ketika suatu pendapat yang dilontarkan dalam suatu diskusi hanya di dasari dengan sikap eksklusif (terpisah dari yang lain) tanpa mau mendengar pendapat orang lain meskipun baik apabila tidak sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan mereka.
Di sisi lain mereka hanya mengedepankan retorika manis serta mengabaikan realitas dan objektifitas. Hal ini dilakukan demi mengamankan pendapat mereka sendiri agar dianggap benar, diakui bahkan harus diikuti oleh orang lain. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi ciri khas oleh kaum sofisme pada pertengahan hingga akhir abad ke-5 SM. Pertanyaannya sebenarnya apa itu sofisme? Penting rasanya sebagai pemuda mengetahui sofisme agar dalam kehidupan sehari-hari khususnya masyarakat itu sendiri tidak terjebak dari budaya yang dimiliki oleh sofisme. Sofisme berasal dari kata “ soft “ yang berarti cerdik dan pandai. Namun, kemudian berkembang artinya menjadi bersilat lidah.
Sebab kaum sofis menyampaikan filsafatnya dengan berkeliling ke kota-kota dan ke pasar-pasar. Para pemuda dilatih kemahiran berdebat atau berpidato. Sofis ditunjukkan kepada kelompok professional yang hidup pada sekitar abad-5 Yunani, kemudian memiliki ciri khas yang oleh plato disebut sebagai orang-orang intelektual yang superfisial, manipulative, ahli retorika dan dialektika, namun dalam arti yang buruk. Bahkan Plato mengatakan kelompok yang amoral karena kelicikannya yang mampu meyakinkan dengan jalan retorika demi kekuasaan. Kaum sofisme juga memburu manusia lazimnya pemuda untuk diberikan pelajaran tentang seni berdebat dengan imbalan uang. Mereka juga mengelilingi kota dengan ajaran relativisme, dengan argumentasi yang tidak peduli dengan keutamaan.
Dengan demikian sofisme tampak hanya memiliki semacam pengetahuan spekulatif tanpa mengutamakan akal sehat dalam kajian maupun obverasi karena hanya demi kepentingan golongan mereka sendiri. Tujuannya itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan apa yang dianggap benar dengan jalan retorika manis.
Sebenarnya ajaran sofisme itu sendiri memiliki pengaruh positif waktu itu pada pertengahan abad ke-5 SM yaitu melahirkan banyak orang terampil berpidato. Disamping itu, akal manusia dihargai. Namun, sisi negatinya ajaran ini menjadikan orang tidak bertanggungjawab atas ucapan-ucapan sebelumnya, sebab yang dikatakan hari ini untuk sesuatu, bisa saja untuk esok akan berubah dengan dalih kebenaran hanya berlaku sementara. Di era saat ini, ciri khas dari kaum sofisme dapat dilakukan oleh orang-orang dimana saja yang memiliki kepentingan kekuasaan dengan kecerdikan licik yang dilalui dengan jalan retorika manis demi untuk mengelabuhi orang lain. Di pemilihan umum dalam demokrasi baik pilpres, pilkada misalnya, sering kali masyarakat diberikan janji-janji manis oleh calon pemimpin namun pada realitasnya janji manis tersebut ha ni diknya berhenti di bibir dan tidak mampu dihadirkan dalam realitas tindakan. Hal demikian bukanlah kebijaksanaan yang ditunjukan tetapi suatu pendangkalan keilmuan dengan selimut kebohongan yang ditebarkan. Ciri-ciri dari kaum sofisme juga mudah dimiliki oleh seorang pemuda yang tidak memperhatikan idealismenya.
Misalnya di kalangan mahasiswa terdapat aktivis bayaran yang seakan-akan di depan umum pura-pura berteriak menuntut keadilan demi kepentingan masyarakat padahal di belakang sebelum melakukan aksi sudah ngopi lebih awal dengan dinas terkait yang menghasikan pula kesepakatan tertentu dalam bentuk tanda tangan dengan suguhan ‘uang’, dan masih banyak lagi afiliasi-afiliasi tertentu bagi pemuda yang mengarah terhadap kepentingan pragmatis. Di sisi lain menujukkan jelas ciri dari kaum sofisme adalah ‘kebohongan’ yang melekat pada diri seseorang dengan mengedepankan retorika-retorika manis untuk mengelabuhi mangsa demi kepentingan dan kepuasaan sahwat pribadi atau kelompoknya. Bukan malah ilmu pengetahuan dengan prioritas kebijaksanaan yang dimiliki namun pendangkalan ilmu pengetahuan serta ‘harga diri’ mereka sebagai manusia.
Apalagi pemuda, dikatakan seorang akademis yang dikatakan dapat mewakili masyarakat dalam menuju peradaban yang berkemajuan dan beradab. Pemikiran, hati dan tindakan yang selaras merupakan salah satu ciri intergritas yang harus dimiliki oleh pemuda. Terakhir, Ungkapan Bung Hatta “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur itu sulit diperbaiki”.
Komentar
Posting Komentar